top of page
Nur Ramadhani

Dari Masa Kolonial Hingga Kini, Tak Ada Kata “Merdeka” Bagi Konflik Agraria Desa Pakel



Petani Desa Pakel Ditangkap Lagi!


Konflik agraria yang terjadi di Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur sampai saat ini tak kunjung tuntas. Baru sebulan yang lalu, sejak tiga petani Desa Pakel bebas dari tuduhan kasus penyebaran berita palsu, kini kasus penangkapan terhadap petani di Desa Pakel kembali terjadi. Petani bernama Muhriyono ditangkap pada 9 Juni atas tuduhan kasus pengeroyokan terhadap petugas keamanan PT Bumi Sari Maju Sukses. Sama seperti kasus sebelumnya, penangkapan Muhriyono dilakukan secara tiba-tiba tanpa mengindahkan prosedur hukum yang ada. Penangkapan tersebut kemudian menimbulkan kembali perhatian masyarakat perihal kondisi konflik agraria Desa Pakel yang telah berlangsung sejak lama.


Hampir Seabad! Konflik Agraria Desa Pakel Tak Kunjung Usai


Dikutip dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), konflik agraria di Desa Pakel sebenarnya telah terjadi sejak masa Kolonial Belanda. Permasalahan ini bermula ketika warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran yang terletak di Desa Pakel pada 1925. Permohonan tersebut dikabulkan melalui izin Bupati Banyuwangi yang tercantum dalam sebuah akta tahun 1929. Walaupun telah mengantongi izin tertulis perihal pembukaan hutan dan pemanfaatannya, warga masih sering mendapatkan tindakan intimidasi dan kekerasan dari pemerintah kolonial. Tindakan intimidasi dan kekerasan yang kerap menghantui warga Pakel terus terjadi bahkan setelah masa kemerdekaan.


Pada 1970-an, kawasan yang tercantum dalam Akta 1929 telah diklaim oleh PT Bumi Sari Maju Sukses. Namun, apabila meninjau dari SK Kementerian Dalam Negeri tertanggal 13 Desember 1985 nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebut hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) di dua kawasan yaitu Kluncing dan Songgon. Dengan begitu, Desa Pakel tidak termasuk Kawasan HGU PT Bumi Sari. Kehadiran PT Bumi Sari yang terus memperluas HGU hingga Desa Pakel menyebabkan konflik agraria di desa tersebut mencapai babak baru yang masih berlangsung sampai saat ini.


Tak Ada Kata “Adil” Dalam Kamus Petani!


Sebagaimana yang terjadi dalam konflik agraria di Indonesia pada umumnya, petani sebagai pemilik hak atas tanahnya selalu menjadi korban dari ambisi besar yang dimiliki para kapitalis. Hal yang sama juga terjadi dalam konflik agraria di Desa Pakel. Sepanjang sejarahnya hingga saat ini, masyarakat Pakel telah meminta bantuan pada lembaga-lembaga pemerintah untuk mendapatkan kembali hak atas tanahnya. Namun, bukannya mendapatkan keadilan maupun kejelasan, mereka justru dihadapkan pada kenyataan yang pahit yaitu dipenjara, diintimidasi, menjadi sasaran kekerasan dan ketidakadilan oleh aparat keamanan. Berbagai peristiwa yang menimpa para petani seakan menandakan jika memang petani tak akan pernah mendapatkan keadilan dalam hidupnya. Miris!


Nasib Anak-Anak dan Perempuan Di Ujung Tanduk!


Berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan yang terjadi di Desa Pakel menimbulkan dampak terhadap sektor ekonomi dan sosial masyarakat. Konflik agraria yang berkepanjangan mengganggu mata pencaharian sebagian besar warga yang menggantungkan dirinya pada sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Hal ini juga berujung pada banyak anak dari Desa Pakel yang terpaksa putus sekolah karena kekurangan dana, disamping itu tidak sedikit perempuan yang mengalami trauma dan harus mengambil peran ganda dalam keluarga menggantikan para suami yang ditangkap.


Konflik Agraria Tak Kenal Lampu Merah, Pemerintah Buta!


Dikutip dari WALHI, peristiwa yang terjadi di Desa Pakel menggambarkan pola berulang yang terjadi dalam konflik agraria di wilayah lain di Indonesia. Pemerintah telah gagal dalam menyelesaikan akar masalah dari konflik agraria yang terjadi atas dasar ketimpangan hak pengelolaan lahan antara warga dengan perusahaan. Kebutaan seakan-akan menjadi penyakit ketika konflik agraria terus terjadi. Bagaimana tidak, pemerintah justru acap kali menjadi aktor bengis di balik berbagai peristiwa.


Peran dan keberpihakan pemerintah sangat dipertanyakan disini mengingat konflik agraria di Desa Pakel telah menjadi bagian dalam 31 prioritas percepatan dan penyelesaian kasus agraria yang diserahkan WALHI kepada pemerintah. Namun sudah hampir seabad, tidak ada upaya penyelesaian yang berarti dari pemerintah. Pemerintah justru banyak menggunakan pendekatan pemidanaan dan represif dalam menyelesaikan konflik tersebut yang jelas dalam prosesnya itu berseberangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 9 dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.


Sebagai perwakilan dari negara, seharusnya pemerintah dapat bersikap adil dan menjamin hak-hak setiap rakyatnya termasuk para petani di Desa Pakel yang sampai saat ini masih harus memperjuangkan hak-haknya.


Konflik Selesai? MIMPI!


Rezim pemerintah saat ini sempat mengatakan bahwa reforma agraria tengah dilaksanakan. Namun, bukannya berkurang justru konflik agraria semakin meningkat jumlahnya dengan dibarengi kriminalisasi terhadap para petani. Eko Cahyono, akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebut bahwa konflik agraria yang terjadi di Pakel sangat sarat akan relasi kuasa rezim oligarki agraria yang meliputi pemilik HGU, aparat keamanan, preman dan penguasa lokal.


Pola politik tersebut merupakan bentuk pengembangan dari moda produksi ekonomi kolonial yang bercirikan komodifikasi agraria, anti sosial, dehumanisasi, dan eksploitatif atas sumber-sumber agraria. Melihat dari pernyataan tersebut, maka akan menjadi sangat sulit bagi perjuangan para petani Pakel maupun daerah konflik agraria lainnya, karena dapat dipastikan mereka akan berhadapan dengan berbagai lapisan bahkan pemerintah itu sendiri. Dengan begitu, penyelesaian konflik agraria termasuk yang terjadi di Pakel semakin tidak jelas bahkan dapat menjadi sebatas angan-angan belaka.


 

Referensi:






10 views0 comments

Comments


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page