top of page
Rizal Boy

Fenomena Pengemis di Indonesia: Eksploitasi Rasa Iba Demi Cuan?



Lagi dan Lagi Perkara Minta-Minta


Kasus pasangan badut keliling yang tertangkap di Bontang, Kalimantan Timur menjadi salah satu kasus dari sekian banyaknya isu atau permasalahan mengenai pengemis di Indonesia. Pasutri badut keliling ini ditangkap oleh Satpol PP karena melanggar Perda Provinsi Kaltim Nomor 6 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat.


Bersama kasus-kasus pengemis lain, berita pasutri badut di Bontang tersebut semakin menggambarkan berbagai polemik dan permasalahan mengenai keberadaan pengemis di Indonesia.


Eksploitasi Anak Melalui Aktivitas Mengemis


Pada bulan Maret yang lalu, seorang WNI perempuan nekat membawa bayi berusia 17 hari untuk mengemis bersamanya di Malaysia. Sama halnya dengan kasus pasutri badut di Bontang yang kedapatan membawa 2 orang anak berusia 5 dan 1 tahun ketika menjalankan aktivitas mengemisnya.


Padahal tindakan tersebut merupakan sebuah tindakan yang salah dan bertentangan dengan hukum. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, memaksakan anak dalam mencari nafkah telah merendahkan kedudukan anak serta merupakan bentuk kekerasan terhadap anak.


Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Masrokhan, menambahkan bahwa eksploitasi anak dalam kegiatan mengemis dapat digolongkan sebagai kategori perdagangan manusia sehingga dapat ditindak oleh pihak kepolisian.


Mengemis Menjadi Sebuah “Pekerjaan” Baru?


Hal lain yang menjadi sorotan dari menjamurnya berita terkait pengemis adalah perihal attitude yang dimiliki oleh sang pengemis tersebut. Baru saja, netizen digemparkan dengan sebuah cuplikan video yang menunjukkan seorang badut pengamen mendadak memukul pintu mobil tanpa alasan jelas ketika terdapat keluarga yang menyapa badut tersebut.

Sementara itu, sebuah video lain menunjukkan gerombolan pengemis turun dari mobil di Kota Madiun dan meminta-minta kepada warga yang ditemui yang ternyata bukanlah warga Kota Madiun.


Adanya sindikat pengemis semakin terindikasi ketika terungkap bahwa pasutri badut di Bontang menginap di sebuah hotel selama 4 hari 3 malam dengan tarif Rp. 120.000/malam. Mereka mengungkapkan bahwa mengemis dapat memperoleh penghasilan mencapai Rp. 500.000 dalam dua jam setiap harinya.


Mengemis Sebagai Permasalahan Kultural


Dosen Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang, Dra. Juli Astutik, menjelaskan bahwa kemunculan pengemis tidak lepas dari maraknya kemiskinan kultural di antara masyarakat.


Menurutnya, hal tersebut disebabkan mentalitas yang bertumpu pada sikap malas bekerja, boros, dan suka meminta sehingga menciptakan kemiskinan berjangka panjang.


Munculnya sikap tersebut tidak terlepas dengan meningkatnya tren urbanisasi di tengah keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan minimnya lapangan pekerjaan yang semakin meningkatkan angka gelandangan dan pengemis di perkotaan, serta menjadikan meminta-minta sebagai sebuah instrumen pemasukan utama.


Lonjakan Tingkat Kemiskinan Dongkrak Jumlah Pengemis?


Dilansir dari Badan Pusat Statistik per Maret 2023, tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta jiwa (9,36%).


Tak cukup sampai disitu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa, meramalkan angka ini bisa melonjak hingga 6,7 juta jiwa pada 2024.


Peningkatan jumlah penduduk miskin menandakan lonjakan kelompok masyarakat yang menghadapi kerentanan ekonomi serta tidak memiliki daya saing mumpuni untuk memasuki lingkungan pekerjaan formal. Dengan begitu, menjadi pengemis menjadi opsi sumber pemasukan satu-satunya.


Regulasi Hukum terkait Pengemis


Peraturan perihal pengemis telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang merincikan pelaksanaan razia dan penampungan sementara sebagai langkah-langkah merespons jumlah pengemis di masyarakat. Selain itu, PP tersebut turut memaparkan langkah-langkah pencegahan kemunculan pengemis melalui bimbingan sosial, bantuan sosial, dan perluasan kesempatan kerja.


Pada saat yang sama, isu pengemis ini juga telah diatur di dalam KUHP Pasal 504 dan Pasal 425 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahkan, di tataran Pemerintah Provinsi terdapat sebuah peraturan yang mengatur mengenai pengemis, yaitu Peraturan Daerah DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Meskipun begitu, permasalahan pengemis disinyalir berkaitan erat dengan kemiskinan bahwa untuk mengurangi pengemis, turut dibutuhkan kebijakan yang diarahkan untuk mengurangi kemiskinan tersebut.


 

Referensi:








1 view0 comments

Comments


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page