top of page
Anin

Money Politic: Ironi Demokrasi yang Tak Kunjung Usai



Digdaya Politik Uang


Praktik jual beli suara selalu menjadi sorotan kritis banyak pihak, terutama pada momentum menjelang pemilu dan pilkada. Modusnya sangat beragam mulai dari serangan fajar, transfer rekening, pembagian kalender, sarung, sembako, hingga BBM. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), terdapat sekitar 130 dugaan pelanggaran politik uang di berbagai daerah menjelang pilkada 2024.


Sungguh ironis, mengingat proses pemilihan kepala daerah sudah dilaksanakan berulang kali dalam beberapa periode terakhir, namun ternyata masih belum mampu menghancurkan pola demokrasi licik yang mengakar kuat sejak dulu. Tak ayal, Indonesia menempati peringkat tiga sebagai negara dengan politik uang terbesar di seluruh dunia.


Pada Uang, Demokrasi Bertekuk Lutut!


Demokrasi dalam realitanya kini kian semrawut dan dikuasai money politics. Para pemimpin kompeten yang datang menawarkan gagasan cemerlang akan cenderung diabaikan dan berpotensi kalah meski berpendidikan tinggi, sementara kandidat bermodal besar justru lebih berpeluang menang. Sangat mudah bukan mempermainkan demokrasi ini? Menjanjikan namun hanya ilusi. Rakyat dicekoki tipu daya, layaknya alkohol yang manis dan menenangkan di awal namun memabukkan kewarasan dan rasionalitas sehingga merusak seluruh tatanan fungsi dan sistem tubuh dalam jangka panjang.


Ketergantungan Mengikis Akal Sehat


Kemiskinan disertai tingkat pendidikan rendah seakan menjadi pintu lebar yang mengundang para pejabat ‘berpura-pura’ prihatin melalui pemberian amplop, bansos dan janji manis yang ‘katanya’ akan meningkatkan pembangunan dan penghidupan yang layak untuk daerah, ‘nyatanya’ sibuk memenuhi janji mahar partai yang sudah disepakati dari awal dalam bentuk sponsorship.


Memberi edukasi politik kepada rakyat juga tak ada guna, sebab mereka lebih tertarik dengan receiving gifts (bansos) ketimbang integritas. Mereka kadung ‘candu’ disogok serangan fajar kemudian berlindung di balik kalimat “Jika dapat rejeki, tak boleh ditolak” dan sayangnya pejabat suka dengan mindset seperti ini, sebab mudah diperdaya. Sangat miris!


Uang Lebih Tinggi Daripada Agama!


Kyai sebagai pemuka agama dinilai memiliki pengaruh besar dalam menanamkan moralitas kepada para pengikutnya. Kyai sebagai elit politik lokal acap kali dijadikan tim pemenang untuk mendukung tujuan politik kandidat. Untuk membenarkan perilakunya, masing-masing aktor Kyai terkadang membuat dalil fiqih sendiri sebagai legitimasi sikap pilihan politik. Bahkan, banyak yang membuat dalil bolehnya politik uang dengan tujuan kebaikan.


Dikutip dari salah satu wawancara mengenai politik uang bersama Kyai Husnan, Pengasuh Yayasan Attaubah Sumenep, yang menegaskan bahwa politik uang adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Bahkan ia mengaku memobilisasi masyarakat untuk memilih kandidat calon kepala daerah dengan pemberian imbalan berupa uang dan sembako. Akibatnya, masyarakat menyimpulkan bahwa politik uang merupakan fenomena yang wajar.


Pemilih Muda, Pemilih Cerdas?


Praktek politik uang yang saat ini mencederai demokrasi tentu sangat mencoreng arti dan makna demokrasi yang sebenarnya. Pragmatisme politik yang menggerogoti akal sehat generasi tua membuat mereka cenderung memilih calon pemimpin berdasarkan materi, alih-alih visi dan kapasitas untuk memajukan bangsa.


Oleh karena itu, sebagai generasi penyongsong masa depan, pemuda harus menentukan pemimpin seperti apa yang akan merawat daerahnya. Kemajuan teknologi bisa merekam semua jejak digital para calon kepala daerah.


 

Referensi:



1 view0 comments

Commenti


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page