Berebut “Kawan” Demi Sebuah Kursi
Tak ada yang menyangka jika Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tahun ini akan menjadi ajang pertarungan panas bak Pilpres (Pemilihan Presiden) Februari silam.
Siapa yang bermusuhan bisa menjadi kawan, pun sebaliknya yang berkawan bisa menjadi lawan. Semua partai berebut dukungan satu sama lain dan semua tokoh yang diunggulkan sibuk mencari “pertolongan” demi maju menjadi kepala daerah. Dinamika politik yang tersaji dengan berbagai drama intensitas tinggi terus bergulir sejak rampungnya pilpres. Dari pelabelan politik dinasti hingga grasak grusuk partai dalam memberi mandat.
Lalu, mengapa terasa seperti pilpres? Bagaimana jalannya pertarungan rasa pilpres ini? Siapa yang akan bertarung? Dan apa yang akan terjadi?
Tak ada yang tahu hingga pengumuman akhir tanggal 16 Desember 2024, kecuali “TUHAN!”.
PDIP Buktikan Konsistensi, PKS Kehilangan Jati Diri?
Mengutip sebuah kalimat seorang ustad yang berbunyi “Yang berat itu amanah, yang susah itu istiqomah” mungkin PKS sedang mendalami peran tersebut dengan pergerakan politiknya saat ini. PKS seperti kehilangan jati diri, partai islam kanan yang dikenal vokal ketika menjadi oposisi kini tak lebih dari “jual diri”.
Mengapa demikian? 25 Juni 2024, PKS resmi mengusung Anies Baswedan - Sohibul Iman (AMAN) sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Namun, pasangan tersebut telah kandas karena akhirnya PKS bergabung ke dalam KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus) dengan resmi mengusung Ridwan Kamil - Suswono (RIDO) dalam pilkada Jakarta mendatang pasca diumumkan Senin lalu (19/08). Sebelum Jakarta, PKS juga resmi mengusung Bobby Nasution sebagai calon gubernur Sumatera Utara. Bobby sendiri adalah menantu presiden yang pada pemilu silam sering dianggap bagian dari “dinasti politik” oleh PKS. Tak ada yang tahu persis lobi-lobi politik gila macam apa yang terjadi namun mulai tercium ancang-ancang PKS merapat ke istana yang mulai keras terdengar pasca deklarasi terhadap dua calon yang diusung di pilkada.
Berbeda dengan PKS, PDIP sebagai partai pemenang pemilu silam memilih untuk menjauh dari KIM Plus. Hingga artikel ini dibuat, belum tampak langkah apa yang akan diambil oleh partai banteng khususnya di Jakarta. Sejauh ini, PDIP sudah mengumumkan 13 nama bakal calon gubernur sekaligus merekomendasikannya. Salah satunya adalah Edy Rahmayadi, petahana gubernur Sumatera Utara sebagai penantang “mantu presiden” milik KIM Plus.
PDIP seperti tak kehilangan akal meskipun telah ditinggalkan partai-partai lain. Konflik antara PDIP dan Jokowi yang mulai memanas sejak setahun lalu bisa jadi salah satu penyebab PDIP sangat berhati-hati dalam mengambil langkah.
Nyatanya, tak ada yang salah dari langkah kedua partai tersebut karena inilah politik. Tetapi, sedikit bercanda atas realita politik yang terjadi adalah keniscayaan. Mengapa? Karena seyogyanya politik adalah hiburan penuh drama, tawa, tangis, sakit, dendam, dan perasaan-perasaan yang saling beradu.
Jalan Berliku Anies, Karpet Merah RK
Entah dosa apa yang dibuat oleh Anies sehingga jalannya selalu terjal dan ntah amalan apa yang dilakukan RK sehingga jalannya terlihat selalu mulus. Kalimat tersebut seakan menggambarkan perjalanan politik dua sahabat yang berstatus eks gubernur itu.
Sejak menjadi gubernur Jakarta periode 2017-2022, rasa-rasanya Anies tak jauh-jauh dari kesulitan. Mulai dari intervensi pemerintah Jokowi dalam ngurusin Jakarta, kawan dan lawan politik saat pilpres 2024, hingga aroma-aroma penjegalan saat ingin maju kembali di Jakarta pada pilkada ini. Sepertinya Anies sangat mengamalkan “setelah kesulitan akan ada kemudahan”.
Berbeda dengan Ridwan Kamil yang seperti anak emas dalam karir politiknya. Pasca memimpin Kota Bandung, langkahnya semakin cemerlang. Dari gubernur Jawa Barat yang minim konflik (setidaknya dalam media), kurator IKN, hingga resmi dicalonkan sebagai gubernur Jakarta. Faktanya, tak banyak berita miring terhadap RK, RK lebih berhati-hati dalam setiap gerak-geriknya dan memilih “main aman”.
“sok geura gabung ka KIM wae Nies, ulah sosoan idealis maneh mah” mungkin RK akan ngomong ini jika ketemu Anies hehe.
Meskipun begitu, akan ada yang menarik sampai penetapan calon kepala daerah karena Mahkamah Konstitusi telah resmi mengubah ambang batas pencalonan pilkada, sehingga Anies bisa ikut bersaing. Akankah duet Anies dan PDIP akan terjadi untuk menjegal balik KIM Plus? Pertarungan pilkada yang sangat dinantikan!
Golkar Ribut Ketua Umum, Partai Non-Parlemen Ikut Arus?
Pasca mundurnya Airlangga Hartarto dari pucuk kursi pimpinan Golkar, muncul berbagai spekulasi yang terus “menggoreng” Golkar. Rasanya sudah seperti makanan tahunan jika melihat partai beringin tersebut. Partai legenda ini tak luput dari konflik setiap tahunnya, entah konflik baik maupun buruk, mulia dari dualisme kepengurusan, penyingkiran golongan tertentu, hingga jaringan bisnis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Golkar.
“Masuk barang itu” kata Bahlil. Ya, Bahlil Lahadalia, sosok politikus yang sedang naik daun ini menjadi sorotan publik. Namanya baru mentereng di dunia politik Indonesia beberapa tahun kebelakang, namun permainannya tidak main-main. Pengalamannya mungkin menjadi bekal kuat hingga eksistensinya bisa sampai saat ini, mulai dari Ketua HIPMI hingga menteri, menarik jika ketua umum Golkar akan menjadi singgasana Bahlil untuk meneruskan geliat politiknya di Indonesia.
Bahlil disinyalir menjadi sosok kuat pengganti Airlangga meskipun berbagai kontroversi terus setia dibelakangnya. Sejauh ini, anak emas Papua itu disebut-sebut juga sebagai calon tunggal ketua umum Golkar. Patut dinantikan, Apa yang akan terjadi dengan Golkar?
Jauh dari berkonflik, partai-partai non-parlemen juga ikut berpartisipasi dalam meramaikan pilkada. Seakan tak ingin menjadi penonton dan tim hore, Partai seperti PSI, Gelora, PPP, Perindo dan lainnya juga ikut bergerak dalam pilkada. Partai-partai ini harus mampu bertahan sebelum berpartisipasi kembali dalam pemilu 5 tahun lagi. Partai-partai tersebut terus sibuk memberikan dukungan serta mendeklarasikan untuk calon-calon yang dijagokan meskipun mereka tak punya cukup kuasa maupun suara. Ya, minimal tidak tenggelam dan terus eksis sampai 2029, meskipun “hidup segan mati tak mau” untuk beberapa partai juga.
Di beberapa daerah, beberapa partai tersebut juga mencalonkan jagoannya masing-masing berbekal suara besar di wilayah dan justru menjadi motornya. Hanya saja, tak cukup menarik jika dramanya tak sebesar Jakarta atau politik dinasti.
“Modal Besar” Tak Tentukan Kemenangan Besar
Sudah bukan hal yang tabu jika dalam proses demokrasi di Indonesia seperti pemilu, pilpres, bahkan pilkades selalu identik dengan modal besar berupa uang. Pemodal biasanya dijadikan batu sandaran untuk mendukung mobilitas dari seorang calon. Ganjarannya? “Semua akan saya muluskan urusannya”, mungkin begitu. Ya, memang politik membutuhkan uang namun caranya yang harus diberi perbaikan.
Kira-kira begitu, money politic tidak selamanya tentang uang. Contohnya? Baca dan cari saja sendiri, tak sulit menemukannya. Modal besar bukan berarti harus uang, sebuah gagasan dan pertaruhan juga bagian dari dua kata itu. Tak ada yang tak mungkin dalam politik, lawan saja bisa jadi kawan.
Dalam politik hari ini, meskipun uang menjadi salah satu mesin, partai politik tentu juga harus bisa menjadikan partainya sebagai sarana untuk masyarakat yang berpendidikan.
Politik adalah pembelajaran, salah langkah sedikit bisa jatuh hingga palung terdalam. “Modal besar” harus dimaknai sebagai solusi besar pula, bukan hanya konsumsi pikiran yang mencederai sebuah pemikiran. Jadi, bagaimana sikap politik kamu? Tentukan dan jangan mau dikendalikan!
Comments