top of page
Dinda Adiliya

Politik Dinasti, Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia* (Syarat dan Ketentuan Berlaku)



Politik Dinasti Adalah Hak Setiap Orang?


Tak dapat dipungkiri bahwa dinasti dalam politik bukan hal baru di Indonesia. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi pada tingkat pemerintahan paling dasar pun politik dinasti seakan hal wajar yang dapat dengan mudah ditemukan.


Memang, tidak ada aturan yang melarang seseorang mencalonkan diri ketika sanak keluarga telah berada dalam sistem tersebut. Sebelumnya, UU yang mengatur pembatasan politik dinasti telah dibatalkan pada tahun 2015 karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan dapat melanggar kebebasan hak. Hingga kini, bisa dibilang tak ada lagi pelarangan politik dinasti.


Sebaliknya, justru ada pasal yang dapat berarti memberikan kebebasan bagi seluruh warga untuk masuk pemerintahan. Pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dan pada Universal Declaration of Human Rights PBB 1948 pasal 21 yang menyatakan semua orang berhak berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung atau lewat perwakilan. Artinya, siapapun dapat mencalonkan diri menjadi pejabat negara sekalipun ia adalah anak seorang presiden. Kabar buruknya, sungguh kita memang tak bisa memilih di keluarga mana kita dilahirkan.


HAM Jadi Alasan Kelakuan Serampangan, Terobos Sana-Sini


Tidak adanya larangan yang jelas membuat politik dinasti seakan sah-sah saja untuk dilakukan. Para pelaku politik dinasti berdalih, mereka memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Siapapun berhak mencalonkan diri, tetapi apakah benar secara moral dan etika? Aturan yang sudah ditetapkan saja bisa dengan mudah diubah dan diakali seenak jidat, apalagi bila tak ada aturan sama sekali?


Selain itu, perlu dipertimbangkan apa motifnya. Kebanyakan politisi memiliki tujuan tertentu, entah untuk memperkaya diri atau memperluas kekuasaan. Lebih buruk lagi politik dinasti, yang bukan hanya menguntungkan satu orang, tetapi seluruh keluarga besar. Mungkin, bagi-bagi sekeluarga besar inilah yang menjadi motivasi untuk melanggengkan perilaku “non-etika” tersebut.


Demokrasi di Ujung Tanduk, Hukum Pun Tunduk!


Politik dinasti bukan hanya berpotensi menciptakan korupsi, tetapi juga mempersempit kesempatan bagi orang lain yang benar-benar mampu dan berkualitas untuk memimpin bangsa, yang gagal karena tak punya ‘orang dalam’.


Bila terus senantiasa dilanggengkan, politik dinasti mampu menghancurkan demokrasi. Demokrasi kalah telak digantikan pemerintah otoriter yang dikuasai keluarga. Tak akan ada pemimpin yang dipilih rakyat. Pemilu tak lagi perlu dilakukan, hanya langsung berikan saja kepada anak, menantu, istri, cucu, atau siapapun yang berada di garis keturunan. Kita akan melihat wajah yang itu-itu saja menduduki setiap lini pemerintahan.


Lu Punya Kuasa, Lu Berhak Ngapain Aja


Politisi paling keras berteriak HAM hanya ketika dapat keuntungan. Sementara mereka diam saat banyak sekali hak masyarakat yang belum dipenuhi negara. Bukannya menjalankan kewajiban untuk menjamin kualitas hidup orang banyak, mereka malah sibuk memperkaya diri. Hanya ingin haknya dipenuhi tetapi enggan memenuhi hak masyarakat. Politik dinasti sama sekali tak menguntungkan, yang terjadi masyarakat semakin menderita atas perlakuan semena-mena pemegang kekuasaan.


Politik dinasti terbesar pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah bangsa ini. Kita pernah mengalaminya selama 32 tahun, apa akibatnya? Pemerintahan otoriter, korupsi di mana-mana, banyak anggota keluarga yang mengisi posisi strategis tanpa seleksi, kebal dari segala hukuman kejahatan politik, eksploitasi besar-besaran dan berhasil meraup kekayaan yang tak akan habis tujuh turunan. Ketika seluruh anggota keluarga menikmati segala keuntungan yang berhasil dikuasai, di saat yang sama pula rakyat dibuat menderita habis-habisan. APAKAH KITA MAU MENGULANG MASA KELAM ITU?


Omong Kosong Sila Kelima! Mengapa?


Pemerintahan berkelanjutan sering disebut-sebut baik bagi kemajuan negara karena program pemerintah sebelumnya dapat terus dilanjutkan tanpa ada perubahan kebijakan terus-terusan. Namun hal ini bukan berarti anggota keluarga yang harus meneruskan. Kebijakan bisa saja tetap berjalan meski berganti pemimpin pemerintahan. Jangan sampai mengorbankan keadilan dan HAM banyak orang demi memberikan kesejahteraan bagi satu keluarga!.


 

Referensi:





6 views0 comments

Comments


Submit Tulisanmu

Kirimkan tulisan Anda dan jadilah bagian dari komunitas kami yang berkontribusi dalam berbagai topik menarik yang kami sajikan kepada pembaca setia kami.

bottom of page